![]() |
sumber: google |
Ada seseorang yang baru aku kenal sebulan terakhir ini. Tak
disangka ia memiliki kisah yang pilu dengan keluarganya. Aku tak tahu apa-apa
tentang masa lalunya. Ketika aku memutuskan untuk kos bersamanya, Dewi—teman kelasku,
hanya menceritakan bahwa ia sedang ada masalah dengan keluarganya. Sampai di
situ, aku tak bertanya lagi masalah apa yang sedang dihadapi calon teman
kamarku itu. Aku juga tak mau tau lebih jauh karena memang kepentinganku di
sini hanya menyelesaikan skripsi secepat mungkin. Karena itu yang menjadi
masalah dengan keluargaku saat ini.
Tapi, belum lama ini perempuan kelahiran Kalimantan Timur
itu menceritakan sepotong demi sepotong kehidupan keluarganya kepadaku. Entah ada
angin apa. Aku menyimak ceritanya dan terbawa suasana sedih ketika
mendengarnya. Yups, perceraian orangtua selalu menjadi momok menakutkan bagi
anak-anak. Ketika aku kuliah, aku mendengarkan beberapa kawan yang punya
masalah dengan keharmonisan keluarga mereka. Uniknya, mereka yang memiliki
masalah itu adalah anak pertama dan mempunyai beberapa adik. Mulai dari
seniorku yang rambutnya gondrong pernah menceritakan Ayahnya yang sudah
meninggal dan aku sedih membayangkan adik-adiknya dan ibunya di Lampung. Lain waktu,
ada senior yang galak karakternya saat
TPI yang menceritakan bahwa ibunya menjadi TKW di luar negeri dan memiliki adik
yang diurus di kampungnya, di Jawa. Alhamdulillah saat ini ia sudah
berkeluarga. Dan yang masih membuatku penasaran adalah cerita tentang salah
satu mantan ketua Riak dan keluarganya di awal perjumpaan kami di depan kosanku
tiga tahun silam. Hingga saat ini aku masih menyimpan kisah itu dan menyimpan
banyak tanya, bagaimana keadaan keluarganya di sana saat ini. Bagaimana kondisi
ibunya, perempuan yang pernah kusebut sebagai permaisuri tegar, kini?
Entah aku yang terlalu mudah terbawa suasana alias baper
atau memang kisah yang mereka sodorkan padaku kala itu memang berat, tapi dari
kisah-kisah itu aku menyimpulkan bahwa konflik keluarga memang bisa
mempengaruhi anak ketika dewasa. Dan saat ini, dadaku ikut sesak ketika
membayangkan kisah keluarga teman kamarku ini. Aku tak bisa menceritakan
gamblang di blog ini karena itu memang wilayah privatnya dia. Hanya saja, ada
yang membuatku begitu terenyuh ketika suatu hari kami sedang di kamar, aku
sedang sibuk dengan laptopku dan ia bertanya, “Aku berpikir apakah keluargaku
tidak pernah khawatir ya dengan keadaanku?”
Aku awalnya tak paham dengan tanyanya dia karena ketika itu
ia belum menceritakan konflik keluarganya. Setelah mendengar ceritanya barulah
aku paham bagaimana perasaan menjadi perempuan yang sedang kecil tidak
mendapatkan kasih sayang dari ibunya padahal ia ada di dekat kita, tinggal satu
rumah. Aku sempat bertanya, “Apakah mungkin kamu bukan anak kandungnya?” Dia
menjawab, “Ketika kecil aku juga sempat menanyakan hal itu kepada ayahku, ayah
jawab, ‘Coba kamu lihat, kamu dan ibu rambutnya sama-sama luruskan?’”. Jawaban yang mungkin kala itu diterima
mentah-mentah oleh anak kecil.
Pernah suatu kali aku habis dari Bogor dan dibawakan makan
isinya nasi, ikan, dan tahu bacem. Ia kutawari makan. Kulihat ia sangat
antusias melahap nasi dan tahu kecap manis itu. Kalau tidak salah dia berkata, “
Emm enak sekali makanan rumahnya. Aku nggak pernah tuh sekalipun dibuatin atau
dibawakan bekel kayak gini”. Praktis aku jadi tak enak hati kala itu karena
bagiku dibawain makan seperti itu sudah biasa bahkan kadang terdengar orangtua
maksain banget bawa bekel. Tapi itulah, untuk anak-anak di keluarga lain,
mungkin itu hal mahal untuk mereka. Hal yang selalu mereka dambakan tapi sulit
didapatkan.
Ketika aku menulis ini, baru saja ia menangis. Kuperhatikan ia
tengah menyeka matanya. Aku tak bertanya mengapa. Aku menduga film yang sedang
ditonton di laptopnya menceritakan tentang rumitnya sebuah keluarga. Begitulah,
perceraian, perpisahan, ataupun konflik lainnya dalam keluarga sedikit banyak menyisakan
kenangan tak baik dan mempengaruhi pertumbuhan anak-anak ketika mereka dewasa.
At kosan Takuy, Legoso
31.10.15/2.16 pm
0 komentar:
Post a Comment