Bisakah kita menyukai
seseorang tanpa ada embel-embelnya? Tanpa harus membutuhkan sebuah alasan?
Aku sangat menyayangkan diriku yang mudah terpesona pada kemampuan, kehebatan, atau keunikan lawan jenis. Entah itu mereka yang mahir bermain musik, pandai menulis, suka berolahraga, hebat berteater, atau hal lainnya. Aku benci diriku yang seperti itu. Seakan tak ada filter dalam diriku, terkadang aku langsung menunjukkan rasa kekaguman itu dengan mudahnya. Dan bodohnya, aku tak pernah bisa mengukur apakah orang yang kupuja itu dapat membaca maksudku atau tidak. Lebih bodohnya lagi, aku tak bisa membaca sikap balasan dari mereka sebagai sesuatu yang baik atau tidak untukku. Apakah mereka hanya mengganggapku sebagai seorang pengagum yang tak boleh disia-siakan agar mereka terus populer dan tak kehilangan fans?
Sebagai contoh, ketika masuk kuliah dan mengenal dunia
kampus, aku tak sengaja membaca satu puisi pada flyer yang tergeletak begitu saja di fakultas. Pada puisi itu,
tertera nama penulisnya yang tak lain adalah seniorku di Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia. Entah setan apa yang merasuki pikiranku, sejak
saat itu aku mulai mencari informasi tentangnya. Tentu, aku lebih dulu menyukai
puisinya ketimbang sosok penulisnya.
Pada suatu kesempatan, mungkin bisa dikatakan sedang
tinggi-tingginya rasa kagumku, aku mencoba menghubunginya via sms, karena saat
itu aplikasi chatting tidak sepopuler sekarang. Isi pesanku adalah mengajaknya
wawancara tentang kepenyairannya sejauh ini sebab beberapa puisinya lolos masuk
koran nasional. Dan senjata ampuh yang kugunakan adalah nterview yang kulakukan kemungkinan akan dimasukkan ke dalam
tabloid atau newsletter kampus di mana aku baru saja bergabung di dalamnya
sebagai anak bawang.
Gayung bersambut, pria berambut gondrong itupun
menyanggupinya. Dan sore itu aku ingat sekali bagaimana tergesa-gesanya aku
mempersiakan itu semua. Aku turun dari
lantai 7 fakultasku untuk menemuinya di kantin bawah dengan hati yang
berdebar-debar. Tentu, setelah percakapan itu selesai, rasa kagumku semakin
menjadi-jadi. Satu yang pasti, wawancara itu tak pernah menjadi sebuah tulisan,
apalagi masuk ke tabloid. Jadi bisa dibilang itu hanya siasatku saja yang
ternyata anggota di organisasiku pun melakukan hal serupa demi melancarkan
aksinya kepada gebetan mereka. Fakta ini baru kuketahui setelah beberapa tahun
berikutnya. Tahun berganti, kekagumanku berkurang tapi tak pernah hilang,
hingga akhirnya aku harus menerima kenyataan ia menikah beberapa bulan yang
lalu. Hari pertama mendengar itu, hatiku sakit. Tapi setelahnya, lupa begitu
saja. Aneh.
Di lain kesempatan, aku pernah mengangumi seseorang tanpa
sengaja. Keahlian laki-laki yang ini bukan membuat syair, tapi memainkan alat
musik. Sebenarnya yang kukagumi adalah temannya yang jago main gitar. Sementara
ia, yang kulihat dalam foto facebooknya adalah seorang drummer.
Tak seperti pada pria penyair di atas yang hanya bisa
kukagumi tanpa bisa melakukan pendekatan lebih, kepada pria berdarah Palembang
ini justru lebih dari ekspektasiku di awal. Maksudnya adalah kita terjebak pada
suatu hubungan. Seneng sih, sampai-sampai waktu yang sebentar itu ternyata
menyisakkan susahnya move on untuk
waktu yang lama.
Poinnya adalah jika pada lelaki penyair, kamu kemungkinan
besar dibuatkan puisi indah, pada mereka yang berkecimpung di dunia musik,
apalagi hal terromantis yang mereka kasih kalau bukan dibuatkan lagu manis
ataupun dinyanyikannya senandung indah. Aku mengalami dua hal itu; dibuatkan
lagu yang katanya sih ciptaannya sendiri dan untukku seorang, tapi entahlah…
aku tak pernah percaya omong kosongitu. Sialnya, pada momen mendendang sebuah
lagu salah satu band besar Indonesia itu yang salah satunya digawangi oleh Piyu,
aku tak pernah bisa move on dari lagu itu, bahkan setelah putus. Benar-benar
suatu kesialan bagiku yang kadang aku nikmati sendiri.
Mendengarkan lagu itu berulang-ulang untuk waktu lama
seperti sebuah ekstase bagiku. Seperti ekstase yang dimaksudkan Ahmadun Yosi
Herfanda dalam puisinya. Begitu menyerap energi dan menyeretku pada suatu
kenangan yang sudah bukan lagi zamannya, zaman kita berdua dulu. Halah...
Di lain kesempatan
(yang lain lagi), aku pernah terjebak pada kekaguman dari seorang pemain
teater. Kami pernah sama-sama terlibat acara bareng di salah satu pulau di
Kepulauan Seribu beberapa tahun lalu. Yang membuatku kagum tentunya adalah
akting-aktingnya dalam pertunjukan teater. Suatu kebolehan yang tak semua orang
bisa memilikinya. Pada tingkat ini, teater menurutku jauh lebih rumit daripada
menulis puisi atau membuat lagu.
Meski ketiganya sama-sama adalah sebuah seni
dengan kekhasannya masing-masing. Yang teristimewa dalam diri seorang pemain
teater adalah dia pandai membuat puisi juga menyanyikan suatu lagu. Seperti belum
lama ini, dia yang nomornya ada di kontak whatsapp membuat status, “mataharimu
terbit dari Timur, matahariku terbit dari matamu”. Sebuah kalimat sederhana
tapi menggambarkan nilai yang tinggi pada orang yang mungkin dia kasihi. Dan aku
tau pasti itu bukan aku, karena kedekatan kami dulu menguap begitu saja seperti
penonnton yang bubar setelah pertunjukkan drama selesai. Berhamburan entah ke
mana.
Lalu bagaimana dengan ketertarikanku pada lawan jenis yang
jago menulis artikel, dan cerdas dalam mengkritisi suatu masalah dalam
tulisannya? Ah tentu lawan jenis yang seperti ini banyak kutemui karena duniaku
juga di situ. Di antara para lelaki yang menghabiskan waktunya mengeluarkan
gagasannya pada lembaran-lembaran word sambil menghisap berbatang-batang lisong dan
kopi hitam yang pahit dengan mata terjaga sampai dini hari.
Ada salah satu website
mahasiswa yang menurutku cukup kritis dalam mengeluarkan tulisan-tulisan. Beberapa
kali aku membacanya dan langsung kagum, entah itu kadang pada isi, ide
tulisannya atau pada gaya bahasanya yang nyeleneh tapi nyentil, atau juga aku
begitu tertarik hanya karena kalimat di akhir penutup tulisan itu yang cerdas. Hanya
karena itu, kutegaskan lagi, hanya karena hal itu aku langsung menjadi sangat
kepo siapa penulisnya, lalu kucari lagi tulisan ia yang lainnya. Pada yang satu
ini, aku belum pernah terjebak suatu hubungan yang dekat lebih dari sekedar di
dunia virtual.
Kadang aku bersyukur saat aku begitu mengagumi mereka yang
jago nulis, tapi tak memiliki interaksi langsung padanya entah sebagai teman di
suatu komunitas, organisasi, pekerjaan, dan lainnya. Karena dengan begitu, rasa
kagumku seperti yang sudah-sudah akan hilang dengan sendirinya, entah karena
lupa atau terlalu capek menjalani hidupku yang tidak mudah ini, apalagi
sepanjang 2014-2015 ini. Tapi ya gerah juga sih memiliki kebiasaan seperti itu
yang membuatku terkedang lelah di tengah jalan, padahal sendirian.
Pada akhirnya, bagiku, semuanya istimewa. Anugrah yang Tuhan
berikan pada mereka jelas menjadikan mereka berbeda laki-laki lainnya. Dan itu
suatu nilai lebih yang mungkin membuat banyak perempuan tergila-gila. Tapi,
apalah artinya keistimewaan itu kalau ternyata pada perbuatan tidak demikian. Karena,
sehebat apapun mereka dalam bakat seninya, tetap yang dilihat adalah tindakan
nyata atau aktualisasi dari syair-syair indah, lirik-lirik lagu manis, dan
kalimat-kalimat penuh harapan yang mereka ciptakan.
Kembali ke pertanyaan di muka, bisakah kita menyukai bahkan
mencintai seseorang dengan bebas nilai?
At kosan Takuy, Legoso
14.11.15
5.18 pm
0 komentar:
Post a Comment