Di kuartal keempat tahun 2015 ini, banyak kejadian yang
cukup krusial terjadi di Tanah Air, khususnya dalam sektor
minyak dan gas. Tiga di antaranya adalah kasus rekaman percakapan dalam pertemuan
terlarang yang diduga dilakukan oleh Setya Novanto, Reza Chalid, bersama
Direktur Utama Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, turunya
harga BBM beberapa hari lalu, dan diaktifkannya lagi FSRU Lampung oleh PGN.
Ketiga peristiwa tersebut menarik perhatian banyak publik
karena apa yang terjadi menyangkut nasib banyak rakyat Indonesia. Pertama, Ihwal
kasus Setya Novanto jelas menyakiti hati rakyat Indonesia, bukan saja soal
banyaknya nama pejabat pemerintah yang dicatut dalam rekaman pembicaraan
tersebut termasuk Presiden dan Wapres RI yang dicatut, tapi juga soal
perpanjangan Kontrak Karya Freeport yang menuai banyak protes sebab selama ini
perusahaan tambang asal Amerika itu terlalu kecil memberi keuntungannya pada
Indonesia, yaitu hanya 1% dari total keuntungan yang mereka dapat dari mengeruk
gunung emas berpuluh-puluh tahun sejak era Soeharto.
Belakangan beredar kabar dari laman resmi ESDM bahwa
perpanjangan kontrak karya Freeport akan dilakukan. Hal ini menegaskan dugaan
Rizal Ramli tentang adanya antar geng yang merebutkan saham dari Freeport jika perusahaan
milik Jim Bob ini jadi memperpanjang kontraknya di Indonesia.
Jika dugaan Menko Maritim dan Sumber Daya itu benar, sungguh
derita mana lagi yang bisa dihindari rakyat Indonesia atas keserakahan para
pejabat kita yang rebutan saham yang bukan hak mereka.
Dalam wawancara Rizal Ramli dalam program di TV One beberapa
waktu lalu (silakan cari sendiri di laman TV One), ia menyebutkan bahwa boleh
saja Freeport memperpanjang kontrak karyanya setelah 2021 asal menyepakati lima
syarat dari pemerintah yang pro rakyat.
Hal ini jelas menjadi perhatian serius mengingat selama ini Papua yang menjadi
“tuan rumah” ladang emas dan tembaga masih tertinggal pembangunan dan
infrastrukturnya.
Freeport Indonesia memang menjadi momok yang mendilemakan
banyak pihak. Sejarah panjang Freeport di Indonesia juga dinilai dan dirasakan
banyak pihak tidak banyak memberikan keuntungan pada rakyat Indonesia,
khususnya masyarakat asli Papua (dalam hal ini saya begitu menyayangkan
keputusan Soeharto yang membuka keran seluas-luasnya bagi investor asing
menanamkan modalnya di Indonesia).
Kedua, peristiwa
yang jelas masih hangat lainnya adalah turunnya harga BBM beberapa hari ini.
Menteri ESDM, Sudirman Said mengatakan bahwa penurunan harga BBM yang baru bisa
dinikmati rakyat per 5 Januari 2016 ini berdasar pada berbagai pertimbangan,
seperti harga minyak mentah, kurs rupiah, serta efisiensi mata rantai pasokan.
Seperti dikutip tempo.co,
harga bahan bakar jenis Premium, yang sebelumnya Rp 7.300, diturunkan menjadi
hanya Rp 7.150 per liter. "Itu sudah termasuk pungutan dana untuk
ketahanan energi sebesar Rp 200 per liter," kata Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Sudirman Said di kantor Presiden, Jakarta, Rabu, 23 Desember 2015.
Adapun harga solar, yang sebelumnya Rp 6.700 per liter,
turun menjadi hanya Rp 5.950 per liter. "Ini berlaku per 5 Januari
2016," ujarnya. Sedangkan dana ketahanan energi yang diambil dari bahan
bakar jenis solar sebesar Rp 300 per liter. Harga ini berlaku di seluruh
wilayah Indonesia.
Dalam pengumumannya, menteri yang tengah diserang pihak
Setya Novanto CS ini mengatakan penurunan harga BBM disertai dengan pemungutan
ketahanan energi dari kedua jenis bahan bakar tersebut. Pungutan ini pun menuai
protes beberapa kalangan yang menilai pungutan energi itu tidak adil.
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia Ferdinand
Hutahaean mengatakan ketidakadilan itu terlihat ketika harga minyak mentah
naik, pemerintah tidak memungut biaya ke kontrator kerja sama di sektor migas.
Termasuk pemerintah tidak menyisihkan bagian hasilnya dari harga minyak mentah
sebagai energi.
“Tiba harga minyak mentah turun, publik disuruh membayar
subsidi,” ujar Ferdinand. Menurut dia, pengutipan dana energi ini momentumnya
belum tepat. “Bukan waktunya rakyat dibebankan dana pungutan. Bahkan lebih
besar dari jumlah penurunan.”
Pungutan yang dilakukan Kementrian ESDM ini memang riskan
untuk dikorupsi sebab meski pungutannya hanya sereceh dua receh tapi jika
dikalikan jumlah liter yang dibeli masyarakat untuk keperluannya sehari-hari
ataupun untuk sktor industri tentu bukan jumlah yang kecil lagi. Bahkan jika
dihitung dengan kuota minyak yang dimiliki Pertamina sebanyak 8juta kilo liter,
hampir Rp9 triliun yang bisa dihasilkan dari biaya pungutan energi. [Baca juga: Sektor Migas Harus Menjadi Pilar Ekonomi Indonesia (2)]
Tulisan ini didedikasikan untuk situs si-nergi.id
0 komentar:
Post a Comment