Anak. Setiap orang yang telah dewasa pasti pernah tumbuh menjadi anak. Menjalani masa-masa penuh kebahagiaan. Mempelajari hal-hal baru tanpa harus memikirkan risikonya. Memandangi hidup dengan kepoloson. Bergerak tanpa beban sedikitpun. Hanya tawa dan tawa. Jika terjatuh dan kesakitan, ya tinggal menangis tanpa harus ditahan karena suatu alasan. Jika lapar, ya tinggal merengek ke orangtua.
Tapi apakah
semua anak-anak menjalani kehidupan yang demikian? Jawabnya: tidak semua.
Di luar dari
kelucuan seorang anak dan hidupnya (yang harusnya) bahagia, banyak anak-anak di
luar sana yang menjalani hidupnya dekat dengan ancaman dan kekerasan.
Masa sih?
Iya. Problemanya macam-macam.
Dalam
beberapa berita yang saya perhatikan selama ini (correct me if I wrong), setidaknya ada tiga jenis anak yang
terlantar lantas mengalami kekerasan. Pertama,
anak yang secara finansial bagus, artinya ia berasal dari mampu tapi miskin
perhatian orangtua yang sibuk bekerja. Lantas anak ini tumbuh menjadi pribadi
yang kering kasih sayang dan mencari perhatian di luar lingkungan rumahnya.
Jika beruntung, si anak mungkin akan bertemu lingkungan yang membuatnya aktif,
sibuk berorganisasi atau menjalani hobi yang sehat. Tapi tak sedikit yang juga
malah terjerumus ke hal-hal negatif seperti tawuran, pakai narkoba, seks bebas,
bahkan aksi kriminal seperti mencuri dan membunuh.
Kedua, anak yang berasal dari keluarga yang
secara finansial tidak terlalu bagus cenderung miskin. Faktor ekonomi memang
paling banyak mewarnai kehadiran—negara menyebutnya—gelandangan dan pengemis
(Gepeng) di Indonesia.
Di suatu
hari di Jakarta yang panas, terjadilah wawancara imajiner antara wartawan yang
masih baru kencur bertanya pada seorang pengemis di pertigaan Benhil dekat
Café Excelso.
“Kenapa mengemis ke Jakarta, pak?”
“Ya abis gimana lagi mas, di kampung
tak ada lapangan pekerjaan, jadi saya ke Jakarta. Di Jakarta, ternyata tak ada
yang mau memperkerjakan saya karena saya tak punya keahlian dan pendidikan juga
rendah. Jadi, ya mending saya ngemis aja. Kalo nggak gitu, mau dikasih makan
apa anak-istri saya?”
Berkaca dari
fenomena di atas, orangtua yang tak punya kehidupan yang layak akan melahirkan
anak-anak lucu mereka di jalanan. Membesarkannya dengan memperkerjakan mereka
untuk mencari uang.
Pernah nggak
sih kamu lihat anak kecil yang harusnya duduk manis di kelas 1 SD malah ngamen di jalan atau ngemis-ngemis? Juga
mendapati mereka hujan-hujan di kolong jembatan lagi makan? Dan yang lebih
ekstrim lagi adalah mereka, dedek gemes yang harusnya asyik di belakang meja
mewarnai buku gambar lucu penuh imajinasi malah asik ngelem bersama kawan-kawannya di kolong jembatan?
Sesungguhnya,
kehidupan anak-anak seperti itu sangat rentan mengalami tindakan kekerasan dari
sesama Gepeng semisal pada berita yang sering kita jumpai, “seorang pengamen
umur 12 tahun mencabuli bocah berumur 5 tahun. Keduanya sama-sama mengamen di
tempat yang sama”. See?
Ketiga, ada anak-anak yang sebenarnya biasa
saja. Keluarganya harmonis, setiap hari memberinya makanan bergizi. Sekolah
dengan baik. Ibunya pun tak sibuk bekerja. Selalu ada manakala anaknya
menanyakan PR atau menjemput sekolah. Tapi kenapa ia mengalami kekerasan bahkan
berbau seksual?
Jawabnya
karena ada predator anak di sekelilingnya. Sebuah fenomena yang mengerikan
lainnya yang bisa merenggut masa depan anak-anak Indonesia. Pada beberapa
berita, alasan predator anak-anak karena tak bisa menyalurkan hasrat
sesksualnya kepada yang seharusnya. Yang lebih mengerikan, pelaku umumnya kerabat
dekat kita. Mereka yang mengenal dengan baik anak-anak di sekelilingnya.
Kebayangkan
dari ketiga fenomena di atas, setiap anak berpotensi menjadi korban
keterlantaran, kekerasan, bahkan pelecehan seksual. Anak yang harusnya tumbuh dengan baik, menjadi cikal bakal masa
depan bangsa menjadi korban kekerasan yang traumanya mungkin akan masih terasa
hingga ia dewasa.
Sinergisitas Semua Pihak
Yang paling
mengerikan dalam kekerasan anak adalah trauma berkepanjangan. Kesakitan yang ia
alami akan mengendap lama dalam pikirannya. Akhirnya, bukan tak mungkin (dan
memang sudah banyak kejadiannya) mereka yang kecilnya menjadi korban akan
berpotensi menjadi pelaku ketika dewasa. Artinya, ketika si anak A dicabuli
atau dianiaya oleh orang yang lebih tua darinya, kelak dewasa ia akan melakukan
hal yang sama pada anak kecil juga. Jika semua pihak tak ambil peran, akan
terus begitu bagai lingkaran setan.
Di acara
Kopdar opini.id, Selasa (9/8) kemarin di Coffewar, Kemang, Jakarta Selatan, harus
adanya sinergisitas antara semua pihak untuk bisa menyelamatkan anak-anak
Indonesia. Peran orangtua adalah yang terpenting dan utama karena anak tumbuh
meniru apa yang indungnya lakukan. Jika orangtuanya abai pada kehidupan sang
anak, akan membuat sang anak tak punya tempat pulang dan mencurahkan segala
keresahannya.
Peran yang
lebih besar juga ada pada pemerintah dan jajarannya. Pengamat Kebijakan Publik,
Mas Fajar Arif Budiman yang hadir sebagai pembicara di Kopdar memberikan contoh
konkritnya di lapangan. Misal, seorang anak atau remaja yang hidup di jalanan
kena razia Gepeng oleh Satpol PP. dibawa ke dinas sosial daerah setempat.
Sudah
di sana, mau diapakan?
Jika mengacu
pada UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 yang berisi fakir miskin dan anak-anak yang
terlantar dipelihara oleh negara, maka anak-anak yang terlantar dan mengalami
kekerasan di jalanan seperti yang saya sebutkan di awal tulisan, wajib dipelihara
negara, termasuk diberi penguatan psikologisnya oleh psikolog, selain itu juga
perlu diberi pelatihan keterampilan saat dibina di panti sosial agar jika ia
sudah mahir dan keluar dari penampungan, mereka punya modal.
Pertanyaan
lebih dalam menggelitik.
Bagaimana
jika keterampilan sudah punya, tapi tak ada modal untuk mengembangkannya
menjadi usaha?
Di sini,
peran pemerintah juga harusnya ada. Semisal memberikan pembinanan dalam
pinjaman modal bagi mereka yang pemula tanpa agunan dengan diawasi oleh pihak
berwenang. Atau bagi mereka yang seharusnya masih masuk usia sekolah,
disekolahkan lagi dengan biaya dari pemerintah.
Di luar
sana, memang banyak organisasi nirlaba yang fokus pada pendidikan masa depan
anak jalanan. Mereka memberikan ajakan, pelatihan, dan pengajaran pengetahuan
pada anak-anak jalanan yang mau belajar. Satu di antaranya Save Street Child (SSC), sebuah komunitas berjejaring yang peduli
terhadap permasalahan anak jalanan. Dibentuk dan dikelola oleh anak muda serta
bersifat independen, desentralis, juga kreatif: sesuai semangat muda, yang
cabangnya sudah ada di beberapa kota di Indonesia. Sayangnya, kendala yang dihadapi
mereka adalah masalah dana untuk tetap berjalan dan memberikan kepedulian pada
anak-anak jalanan juga pada tantangan ketika melakukan pendekatan kepada
mereka.
Masih dalam
acara yang sama, perwakilan SSC mengatakan, jika mereka ingin mengajukan dana
untuk kegiatan mereka ke instansi pemerintaha, prosedur administrasinya terlalu
ribet. Nah, di titik inilah, lagi-lagi peran pemerintah sangat penting dan
dibutuhkan. Sinergisitas semua pihak demi terselamatkannya masa depan anak-anak
Indonesia dari tindak kekerasan dan pelecahan seksual.
Saya
sendiri, dalam kapasitas saya yang terbatas, baru hanya bisa membantu lewat
tulisan. Menyuarakan kegelisahan terhadap kekerasan yang dialami anak-anak.
Yuk, anak muda, apa yang bisa kalian lakukan untuk peduli pada anak-anak
Indonesia?
Tulisan ini dimuat di opini.id
0 komentar:
Post a Comment