Nikah itu suci. Dianjurkan dan diniatkan karena Allah untuk menyempurnakan hidup dan agamamu. Begitu kan? Nilai-nilai itu juga yang saya yakini sejauh ini. Tapi bagaimana jika alasan nikah dilandasi dengan berbagai hal?
Sampai umur saya menginjak 24
tahun, belum banyak sikap dewasa yang saya ambil ketika menghadapi berbagai
masalah. Salah satu yang terlihat adalah keputusan untuk menikah.
Beberapa kali terlintas di otak
saya alasan-alasan yang melatarbelakangi kenapa kita harus menikah. Ada yang
terpikirkan dan direnungkan seorang diri, ada juga yang terucap karena obrolan
dengan teman semata.
Rata-rata sih, obrolan saya tentang
menikah lebih kepada “agar hidup layak dan bahagia”.
Pernah suatu kali, ketika sedang
lelahnya pulang bekerja malam hari, di perjalanan yang sepi, saya mengajak
ngobrol diri sendiri, “Kira-kira kalau lo nikah, hidup lo akan ada perubahan
nggak ya, Ma?”
Pernah juga cuit-cuitan di twitter
dengan teman perempuan yang juga sama-sama menjadi tulang punggung keluarga,
dengan berkata, “Nikah dengan dirut anu… “ balasan cuitan yang disertai dengan
tawa canda.
Intinya sih… nikahlah dengan
seseorang yang akan membuatmu bahagia.
Tapi, indikator kebahagiaan pun
selama ini saya tak paham. Apa yang disebut bahagia?
Menikah dengan pria yang seiman? Itu
sudah pasti.
Menikah dengan pria yang ingat
kewajibannya, seperti solat lima waktu? Saya pun nggak bakal tenang jika
bersanding dengan pria yang solatnya saja lupa.
Menikah dengan suami yang
berpendidikan dan memiliki pekerjaan atau usaha? IYA!
Beberapa alasan yang muncul mengapa
saya mau menikah?
Pertama, karena menikah
mendatangkan rejeki. Saya selalu percaya kalimat ini. Saya melihat beberapa
teman dekat yang hendak menikah, kerjaanya jadi lancar, banyak sampingan yang
dia terima. Intinya selalu ada uang untuk membayar kebutuhan persiapan menikah.
Jadi saya berpikir kalau saya dan pasangan berniat menikah, maka jalan itu
pasti terbuka. Begitu pun ketika berumah tangga kelak. Saya percaya banyak
perubahan baik yang terjadi asal niat menikah kita baik. Banyak contohnya. Teman-teman
yang sudah menikah bisa memiliki rumah meski KPR atau masih membangun
kecil-kecilan.
Kedua, saya ingin membagi beban
hidup saya kepada pasangan. Saya merasa sampai saat ini belum banyak membantu
keluarga. Keuangan keluarga sangat bergantung pada gaji yang saya terima setiap
bulannya. Uang yang dihasilkan umi saya hanya cukup untuk membayar uang bulanan
dan jajan adik di pesantren. Sisanya, semua kebutuhan diambil dari uang saya. Sebenarnya
itu tak masalah. Bagi saya, asalkan semua masalah kebutuhan terselesaikan,
nggak apa-apa. Dan mungkin memang sudah waktunya saya menggantikan peran bapak
mencari uang. Saya tak keberatan sama sekali. Hanya…. Saya ternyata tak sekuat
yang saya bayangkan. Saya kerap nangis sendirian ketika melihat bahwa banyak
sekali kebutuhan yang tak terpenuhi sekalipun uang gajian saya terpakai semua. Jadi,
ketika menikah kelak, saya ingin berbagi ini semua. Bahwa saya bukan berasal
dari keluarga yang stabil secara ekonomi, dan saya masih harus memberi makan
keluarga.
Tapi saya merasa sangsi sendiri.
Apakah alasan saya di atas benar dan bisa diterima oleh calon pasangan saya? Jangan-jangan
mereka yang membaca blog ini justru malah enggan dengan saya karena mikir akan
ikut membiaya hidup saya dan keluarga jika menikah.
Sudah mengeluh, menuduh pula kamu,
Ma! Tapi itu benar-benar membuat khawatir saya.
Saya berpikir, sebagai anak pertama, saya tak punya banyak tempat untuk bercerita. Beda dengan mereka yang memiliki kakak, yang jangankan bercerita, uang pun dikasih walau tak minta. Sedangkan saya, hanya memiliki blog ini dan Allah untuk tempat mengadu. Jadi, kadang saya bodo amat persepsi pembaca blog saya yang menganggap saya terlalu terbuka dengan masalah yang ada.
Kembali ke persoalan menikah. Ada hal yang saya takutkan sebenarnya untuk menikah, yaitu punya anak.
“Saya tak ingin punya anak banyak,”
begitu pikir saya ketika melihat ternyata percuma punya anak banyak tapi kalau
tidak bisa membahagiakannya. Dua saja cukup, atau kalau perlu satu saja.
Persepsi ini mungkin akan berubah
kelak ketika saya sudah benar-benar berumah tangga. Bisa saja, saya justru
malah punya anak banyak dan bisa membahagiakan mereka.
Saya sadar, banyak sekali
kekurangan dalam diri saya yang harus segera diperbaiki. Terutama soal ibadah. Banyak
sekali PR kepribadian yang harus saya ubah agar lebih baik dan pantas.
Persoalan menikah di mata saya itu seperti
sinyal 4g di pelosok kampung. Kadang muncul sebagai bagian dari ingin mengubah
hidup dan membaginya dengan orang lain, kadang hilang dan tak ingin
memikirkannya sama sekali karena saya tidak tahu apakah boleh menikah dengan
berbagai alasan seperti itu dan apakah ada yang mau menerimanya?
berat, ya. sekarang kalau di balik gimana, bolehkah tidak mau menikah karena berbagai alasan?
ReplyDeleteHmm iya un heheh. wah gak tau deh. apapun alasannya, kayaknya aku tetap maunya bisa nikahlah hahaha
Delete